Selasa, 08 Januari 2013

EUFEMISME DALAM BAHASA BUGIS

             Artikel ini Ralf dapat dari  Blog tetangga sebelah. ya penulisnya sih masih satua atap di fakultas Ralf. Karena  penasaran bagaimana bahasa Bugis dari sudut pandang linguistik. Ralf mencoba searching di Google dan akhirnya mendapatkan Artikel ini. bagi kalianis. silahkan di baca yang ingin tahu eufisme dalam bahasa bugis



Abstrak: Eufemisme dalam Bahasa Bugis. 
             Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk dan fungsi eufemisme dalam masyarakat Bugis. Penelitian didesain secara deskriptif kualitatif. Data bersumber dari informan penutur bahasa Bugis yang berdomisili di Kelurahan Panyula, Kabupaten Bone. Data diperoleh melalui teknik libat cakap, teknik catat, dan teknik perekaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk eufemisme yang digunakan masyarakat cukup beragam. Eufemisme dipergunakan untuk memperhalus pembicaraan kepada seseorang yang menjadi mitra tutur untuk menjaga perasaannya, menghindari ketersinggungan, dan memberi penghargaan.

Abstract: The Euphemism in Bahasa Bugis. This study aims to describe the shape and function of euphemism in Bugis society. The study was designed as a descriptive qualitative. Data sourced from informants Bugis speakers who live in the Village Panyula, of Bone. Data obtained through the techniques involved skilled, technical notes, and recording techniques. The results showed that the form of euphemism is used quite a diverse society. Refine the euphemism used to talk to someone who said to keep your partners feelings, to avoid offense, and reward.
 
             Bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Manusia dapat berinteraksi atau berkomunikasi dengan sesamanya melalui perantaraan bahasa. Oleh karena itu, bahasa menjadi pembeda manusia dengan makhlud lainnya. Melalui bahasa, manusia dapat mengekspresikan pikiran dan perasaannya, baik secara lisan maupun tertulis kepada orang lain.

             Di Indonesia, terdapat beragam suku bangsa dan etnis. Setiap suku, memiliki bahasa daerah tersendiri yang dipelihara oleh penuturnya. Demikian pula halnya di Sulawesi Selatan yang memiliki empat suku/etnik utama, yaitu suku Bugis dengan bahasa Bugis, suku Makassar dengan bahasa Makassar, suku Mandar dengan bahasa Mandar, dan suku Toraja dengan bahasa Toraja.

              Bahasa Bugis telah menjadi alat komunikasi dalam kehidupan masyarakat penuturnya. Masyarakat penutur bahasa Bugis menggunakan bahasanya untuk berbagai tujuan. Dalam konteks penggunaan bahasa Bugis di setiap daerah, tidak tertutup kemungkinan terdapat pemunculan bentuk kata yang sama, tetapi memiliki makna yang berbeda. Perbedaan makna sering menimbulkan perbedaan persepsi dan interpretasi antara pembicara dengan pendengar, antara penulis dengan pembaca yang berbeda dialek atau daerah asalnya. Dalam hal ini, kesalahan persepsi dan interpretasi terhadap makna kata karena kata tersebut kemungkinan memiliki makna lebih dari satu. Penyebab lain adalah penggunaan eufemisme, yaitu penggunaan kata-kata halus sebagai pengganti kata-kata yang dianggap memiliki makna kasar.
 
             Gejala perubahan makna dengan maksud penghalusan kata, bukanlah sesuatu yang baru dalam penggunaan bahasa bagi masyarakat. Jika dicermati dalam konteks penggunaan bahasa Indonesia, penghalusan kata atau eufemisme kerap digunakan masyarakat bahkan pejabat pemerintah sekalipun. Sebagai contoh kata kurang makan sebagai pengganti kelaparan, penyesuaian harga sebagai pengganti kenaikan harga, tuna wisma sebagai pengganti gelandangan, tuna karya sebagai pengganti pengangguran, dan meninggal dunia sebagai pengganti mati.

              Penggunaan eufemisme dapat pula ditemukan dalam komunikasi penutur bahasa Bugis. Eufemisme digunakan baik dalam komunikasi yang terbatas, seperti keluarga, maupun dalam komunikasi yang luas, seperti masyarakat. Penggunaan eufemisme juga diyakini telah berlangsung lama. Penggunaan eufemisme dalam bahasa Bugis bertujuan menghindarkan ungkapan bermakna kasar, kurang baik, dan kurang menyenangkan. Eufemisme dalam bahasa Bugis juga digunakan pada pembicaraan orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua. Hal tersebut dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan.

        Rahman (2002) menemukan bahwa penggunaan eufemisme dalam bahasa Bugis dilatarbelakangi beberapa faktor, yaitu (1) jenis pekerjaan, (2) perbedaan jenis kelamin, (3) hubungan kerja, (4) tingkat keakraban, (5) status sosial, dan (6) perbedaan usia. Munculnya enam faktor penggunaan eufemisme tersebut disebabkan situasi yang berbeda-beda, seperti suka cita, duka cita, dan kondisi lingkungan.
   
         Pengamatan peneliti menemukan bahwa eufemisme masih sering digunakan dalam masyarakat Bugis, termasuk di Kelurahan Panyula, Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten Bone. Masyarakat di daerah tersebut menggunakan eufemisme dalam berbagai stuasi.

         Penelitian ini bertujuan menganalisis makna eufemisme dalam bahasa Bugis.  Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan bentuk, makna, dan fungsi penggunaan eufemisme dalam masyarakat Bugis. Hasil penelitian dapat digunakan untuk menggali lebih dalam karakter masyarakat Bugis yang tercermin dalam aktivitas berbahasa. Selain itu, hasil  penelitian dapat bermanfaat dalam pengembangan bahan ajar mata pelajaran bahasa Bugis.

METODE
              Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain deskriptif kualitatif, yaitu mendeskripsikan data secara teliti sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Data dalam penelitian ini adalah kalimat dalam bahasa Bugis yang menggunakan eufemisme. Yang dimaksudkan eufemisme dalam penelitian ini adalah ungkapan dalam bahasa Bugis yang bermakna lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang kasar, tidak santun, dan kurang menyenangkan.
      
          Data bersumber dari informan penutur bahasa Bugis yang berdomisili di Kelurahan Panyula, Kabupaten Bone. Dialek yang digunakan oleh informan adalah dialek Palakka. Data diperoleh melalui teknik libat cakap, teknik catat, dan teknik perekaman. Teknik libat cakap dilakukan dengan menyimak pembicaraan dan terlibat berbicara antara peneliti dengan informan. Teknik catat digunakan untuk mencatat data yang diperoleh pada kartu data untuk memudahkan analisis data. Perekaman dilakukan melalui tape recorder untuk memastikan dan memudahkan identifikasi data dan pencatatannya.

           Data yang diperoleh dianalisis secara deskripitif kualitatif. Analisis data diawali dengan identifikasi kalimat-kalimat yang mengandung eufemisme. Setelah itu, kalimat-kalimat tersebut dideskripsikan maknanya dan mengklasifikasikannya sesuai dengan kecenderungan data. Analisis dilanjutkan dengan penyimpulan sementara dan verifikasi ulang untuk menghasilkan kesimpulan akhir.

          Untuk menjamin keabsahan data penelitian, pengecekan keabsahan data dilakukan melalui objektivitas (confirmability) dan kesahihan internal (credibility). (Iskandar, 2008:228229). Pengecekan keabsahan data dilakukan melalui (1) ketekunan pengamatan,(2) perpanjangan pengamatan (Alwasilah, 2003:151; Moleong, 1990:175183; dan Iskandar, 2008:229232).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Bentuk Ungkapan Eufemisme dalam Bahasa Bugis
            Ungkapan-ungkapan yang bermakna eufemisme yang ditemukan dalam bahasa Bugis Dialek Palakka, yakni mabbura, juana, makecca-kecca jari, massimang, reweq ripammasena, masempo, matubeng, wija, mallalengni, makkurai betta, attaung-taugeng, makelu-kelu, massappa dalle, macca pinru ada, mallise, rilakke-lakkei, jambang, dan  palecce. Makna setiap ungkapan tersebut diungkapkan sebagai berikut.

          Mabbura (makan) merupakan bentuk eufemisme dari manre. Mabbura berarti mengobati rasa lapar. Ungkapan mabbura digunakan untuk memanggil orang lain makan. Ungkapan ini memiliki makna yang sifatnya tidak langsung.

       Juana (budak) merupakan bentuk eufemisme dari atanna. Kata atanna digunakan untuk menghargai mitra tutur atau orang lain yang dibicarakan. Atanna berarti budaknya,  yang secara sosial menempatkan yang bersangkutan dalam status sosial yang paling rendah.

         Makecca-kecca jari  (pencuri) adalah merupakan eufemisme panga, parennau. Makecca-kecca jari bermakna bertangan nakal. Ungkapan tersebut lebih halus dibandingkan dengan pencuri. Ungkapan makecca jari juga digunakan masyarakat karena mereka meyakini bahwa jika pencuri disebut parennau mereka akan melakukan aksinya kembali.

        Massimang (pamit) merupakan eufemisme dari kata lokkana. Kata massimang dipandang masyarakat lebih halus maknanya jika ingin meminta izin pulang kepada tuan rumah. Kata tersebut biasanya digunakan untuk pamit pada tuan rumah yang berstatus bangsawan. Dengan menggunakan kata tersebut, tuan rumah merasa sangat dihargai oleh tamu.

          Reweq ripammasena (meninggal dunia) merupakan eufemisme dari mate. Reweq ripammasena diucapkan untuk menjaga perasaan keluarga dari orang yang meninggal dunia. Secara harfiah, ungkapan reweq ripammasena puang allah taala berarti kembali ke sisi Allah Swt. Makna kembali dalam ungkapan tersebut  bertujuan untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan. Dengan mengatakan kembali ke sisi Allah, makna yang terkandung makna kematian tersebut semata-mata kehendak Allah Swt.

          Masempo (tidak ada) merupakan eufemisme dari degaga. Kata masempo digunakan ketika seseorang meminta sesuatu barang atau ingin membeli sesuatu, namun yang dimintai/penjual tidak memiliki barang dimaksud. Masempo secara harfiah berarti laris. Dengan menggunakan ungkapan tersebut, orang yang meminta/pembeli tidak merasa kecewa karena keinginannya tak terpenuhi.

           Matubeng (malas) merupakan eufemisme dari makuttu. Eufemisme ini digunakan untuk menjaga perasaan orang yang dianggap malas. Matubeng memiliki makna yang lebih halus dibanding dengan makuttu.

             Wija (anak) merupakan eufemisme dari anatta. Dengan menggunakan kata wija, orang tua biasanya merasa dihargai. Wija memiliki makna keturunan. Kata-kata tersebut merupakan ungkapan yang biasanya diucapkan sebagai tanda keakraban. Masyarakat Bugis ketika berjumpa dengan sahabat atau kawan biasanya akan saling bertanya tentang jumlah keturunan dengan menggunakan kata wija. Bentuk ungkapan yang lazim digunakan adalah siagani wija (sudah berapa keturunan)? Kata wija memiliki makna yang halus sebagai bentuk penghargaan kepada orang tua yang telah memiliki keturunan.

        Mallalengni (sekarat) merupakan eufemisme dari madangni. Eufemisme ini digunakan untuk menjaga perasaan keluarga orang yang sedang sekarat. Secara harfiah, mallalengni berarti berjalan, berjalan menuju kematian. Penggunaan kata mallaleng memiliki ketidaklangsungan makna.

           Makkunrai betta (pelacur) merupakan eufemisme dari kata bendarang. Kedua kata memiliki makna yang sama, namun makkunrai betta memiliki ketidaklangsungan makna. Arti secara harfiah makkunrai betta adalah wanita nakal. Dalam masyarakat adalah perilaku yang diwujudkan dalam beragam tindakan, termasuk wanita yang menjadi pelacur. Bendarang memiliki makna yang spesifik kepada pelacur.

      Attaung-taugeng (orang meninggal) merupakan eufemisme dari tau mate. Menurut pandangan masyarakat Bugis, attaung-taugeng digunakan sebagai ungkapan untuk mengurangi kesedihan keluarga yang sedang berduka. Secara harfiah, kata attaung-taungeng berarti tempat orang meninggal.

           Mallise (hamil) merupakan eufemisme dari mattampu. Kata mallisek memiliki makna yang lebih halus. Ungkapan tersebut digunakan untuk menjaga perasaan wanita yang sedang hamil. Mallise secara harfiah berarti berisi.

            Makelu-kelu (sakit) merupakan eufemisme dari malasa. Meskipun kedua kata memiliki makna yang sama, namun makelu-kelu memiliki makna keadaan sakit yang tidak terlalu parah. Sebaliknya, malasa mengesankan makna keadaan sakit yang parah. Makelu-kelu merupakan bentuk ungkapan yang digunakan untuk membesarkan hati dan memberikan semangat bagi orang yang sedang sakit. Dengan menggunakan ungkapan tersebut, kesan yang muncul bahwa penyakit yang diderita si sakit tidaklah parah.

        Massappa dalle (menjual) merupakan eufemisme dari mabbalu. Massappa dalle digunakan untuk memberikan semangat dalam melakukan pekerjaan sebagai pedagang. Secara harfiah massappa dalle berarti mencari rezeki. Dengan menggunakan ungkapan tersebut, yang bersangkutan akan memiliki motivasi untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Ungkapan tersebut juga lazim digunakan untuk memotivasi anggota keluarga, utamanya anak untuk bekerja atau menuntut ilmu.

        Macca pinru ada (piawai bercerita, piawai merangkai cerita) merupakan eufemisme dari macca mabbicara. Eufemisme ini digunakan untuk menunjukkan kehebatan seseorang yang piawai merangkai cerita. Ungkapan tersebut memiliki makna yang lebih halus dibanding macca mabbicara. Macca mabbicara mengesankan seolah-olah yang bersangkutan hanya sekadar bersilat lidah. Begitu pula, isi pembicaraan yang sekadar sebagai gurauan, bukan pembicaraan berisi seperti yang terkandung dalam macca pinru ada.

         Rilakke-lakkei (dibicarakan) merupakan eufemisme dari ribicarai. Ungkapan rilakke-lakkei digunakan untuk pembicaraan yang berkaitan dengan pernikahan. Ungkapan tersebut digunakan untuk menyembunyikan harapan yang sebenarnya, yakni harat meminang seorang gadis.

        Jambang (buang air besar) merupakan eufemisme dari tai. Penggunaan kata tai akan menimbulkan rasa jijik pada orang yang terlibat pembicaraan. Tai secara harfiah berarti berak. Tai secara langsung memberikan asosiasi terhadap kotoran yang dihasilkan manusia. Dengan menggunakan ungkapan jambang, asosiasi pendengar tidak langsung terarah pada hal yang kotor.

          Palecceki (tambah) merupakan eufemisme dari attambako.  Kata ini digunakan ketika mempersilakan tamu menambah makanan dalam jamuan makan. Secara harfiah, palecceki berarti memindahkan makanan. Penggunaan kata attambako dihindari dalam jamuan makan masyarakat Bugis karena hal tersebut dapat menimbulkan rasa malu bagi tamu. Attambako mengisyaratkan kesan rakus, makan banyak. Padahal, dalam masyarakat Bugis kesan tersebut merupakan aib yang harus dihindari.

Fungsi Eufemisme dalam Bahasa Bugis
           Eufemisme umumnya digunakan memperhalus pembicaraan kepada seseorang yang menjadi mitra tutur untuk menjaga perasaannya, menghindari ketersinggungan, dan memberi penghargaan. Dengan menggunakan eufemisme, tuturan yang diucapkan bernilai sopan, memberi penghargaan, memberi penghormatan, dan menghindari sikap kurang ajar.

              Dalam masyarakat Bugis, eufemisme digunakan untuk: 1) menghormati orang lain dan 2)  menjaga perasaan orang lain. Eufemisme yang berfungsi untuk menghormati orang lain, yakni: mabbura (makan), wija (keturunan), massappa dalle (mencari rezeki/berjualan), macca pinru ada (pandai merangkai kata), jambang (buang air besar), palecceki (pindahkan/tambah), dan rilakke-lakkei (dibicarakan).

           Eufemisme yang digunakan untuk menjaga perasaan orang lain, yakni: juana (budak), makecca-kecca jari (pencuri), massimang (pamit), matubeng (malas), mallaleng (sekarat), makkunrai betta (pelacur), mallise (hamil), attaung-taungeng (tempat orang meninggal),  dan makelu-kelu (sakit).

        Berdasarkan bidang pemakaian, eufemisme dalam bahasa Bugis digunakan dalam hal yang berkaitan dengan musibah, utamanya kematian. Selain itu, eufemisme juga digunakan untuk merujuk pada perilaku menyimpang anggota masyarakat, hal menjijikkan, dan menunjukkan perilaku kesopanan Penggunaan eufemisme dalam bahasa Bugis menunjukkan keluhuran budi masyarakat Bugis. Penutur bahasa Bugis menggunakan eufemisme sebagai bentuk penghormatan terhadap mitra tutur atau objek pembicaraan. Pembicaraan dengan penutur yang memiliki derajat kebangsawanan atau usia yang lebih tua mendorong pembicara untuk menggunakan bahasa yang memiliki makna yang lebih halus. Menurut Pelras (2006:196), dalam masyarakat Bugis ungkapan penghormatan ditentukan derajat kebangsawanan dan usia. Eufemisme yang dipengaruhi derajat kebangsawanan terlihat pada ungkapan massimang (pamit). Pada golongan masyarakat yang memiliki status rakyat biasa, lazim digunakan lokka/jokka (pergi) lesu (pulang).

Posting Lama Beranda

1 komentar:

Ana laa afham maa taktub....

Posting Komentar