Artikel ini Ralf dapat dari Blog tetangga sebelah. ya penulisnya sih masih satua atap di fakultas Ralf. Karena penasaran bagaimana bahasa Bugis dari sudut pandang linguistik. Ralf mencoba searching di Google dan akhirnya mendapatkan Artikel ini. bagi kalianis. silahkan di baca yang ingin tahu eufisme dalam bahasa bugis
Abstrak: Eufemisme dalam Bahasa Bugis.
Penelitian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk dan fungsi eufemisme dalam
masyarakat Bugis. Penelitian didesain secara deskriptif kualitatif. Data
bersumber dari informan penutur bahasa Bugis yang berdomisili di
Kelurahan Panyula, Kabupaten Bone. Data diperoleh melalui teknik libat
cakap, teknik catat, dan teknik perekaman. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa bentuk eufemisme yang digunakan masyarakat cukup beragam.
Eufemisme dipergunakan untuk memperhalus pembicaraan kepada seseorang
yang menjadi mitra tutur untuk menjaga perasaannya, menghindari
ketersinggungan, dan memberi penghargaan.
Abstract: The Euphemism in Bahasa Bugis. This study
aims to describe the shape and function of euphemism in Bugis society.
The study was designed as a descriptive qualitative. Data sourced from
informants Bugis speakers who live in the Village Panyula, of Bone. Data
obtained through the techniques involved skilled, technical notes, and
recording techniques. The results showed that the form of euphemism is
used quite a diverse society. Refine the euphemism used to talk to
someone who said to keep your partners feelings, to avoid offense, and
reward.
Bahasa merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Manusia dapat berinteraksi atau berkomunikasi dengan sesamanya melalui
perantaraan bahasa. Oleh karena itu, bahasa menjadi pembeda manusia
dengan makhlud lainnya. Melalui bahasa, manusia dapat mengekspresikan
pikiran dan perasaannya, baik secara lisan maupun tertulis kepada orang
lain.
Di Indonesia, terdapat beragam suku bangsa dan etnis. Setiap suku,
memiliki bahasa daerah tersendiri yang dipelihara oleh penuturnya.
Demikian pula halnya di Sulawesi Selatan yang memiliki empat suku/etnik
utama, yaitu suku Bugis dengan bahasa Bugis, suku Makassar dengan bahasa
Makassar, suku Mandar dengan bahasa Mandar, dan suku Toraja dengan
bahasa Toraja.
Bahasa Bugis telah menjadi alat komunikasi dalam kehidupan masyarakat
penuturnya. Masyarakat penutur bahasa Bugis menggunakan bahasanya untuk
berbagai tujuan. Dalam konteks penggunaan bahasa Bugis di setiap
daerah, tidak tertutup kemungkinan terdapat pemunculan bentuk kata yang
sama, tetapi memiliki makna yang berbeda. Perbedaan makna sering
menimbulkan perbedaan persepsi dan interpretasi antara pembicara dengan
pendengar, antara penulis dengan pembaca yang berbeda dialek atau daerah
asalnya. Dalam hal ini, kesalahan persepsi dan interpretasi terhadap
makna kata karena kata tersebut kemungkinan memiliki makna lebih dari
satu. Penyebab lain adalah penggunaan eufemisme, yaitu penggunaan
kata-kata halus sebagai pengganti kata-kata yang dianggap memiliki makna
kasar.
Gejala perubahan makna dengan maksud penghalusan kata, bukanlah
sesuatu yang baru dalam penggunaan bahasa bagi masyarakat. Jika
dicermati dalam konteks penggunaan bahasa Indonesia, penghalusan kata
atau eufemisme kerap digunakan masyarakat bahkan pejabat pemerintah
sekalipun. Sebagai contoh kata kurang makan sebagai pengganti kelaparan, penyesuaian harga sebagai pengganti kenaikan harga, tuna wisma sebagai pengganti gelandangan, tuna karya sebagai pengganti pengangguran, dan meninggal dunia sebagai pengganti mati.
Penggunaan eufemisme dapat pula ditemukan dalam komunikasi penutur
bahasa Bugis. Eufemisme digunakan baik dalam komunikasi yang terbatas,
seperti keluarga, maupun dalam komunikasi yang luas, seperti masyarakat.
Penggunaan eufemisme juga diyakini telah berlangsung lama. Penggunaan
eufemisme dalam bahasa Bugis bertujuan menghindarkan ungkapan bermakna
kasar, kurang baik, dan kurang menyenangkan. Eufemisme dalam bahasa
Bugis juga digunakan pada pembicaraan orang yang lebih muda kepada orang
yang lebih tua. Hal tersebut dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan.
Rahman (2002) menemukan bahwa penggunaan eufemisme dalam bahasa Bugis
dilatarbelakangi beberapa faktor, yaitu (1) jenis pekerjaan, (2)
perbedaan jenis kelamin, (3) hubungan kerja, (4) tingkat keakraban, (5)
status sosial, dan (6) perbedaan usia. Munculnya enam faktor penggunaan
eufemisme tersebut disebabkan situasi yang berbeda-beda, seperti suka
cita, duka cita, dan kondisi lingkungan.
Pengamatan peneliti menemukan bahwa eufemisme masih sering digunakan
dalam masyarakat Bugis, termasuk di Kelurahan Panyula, Kecamatan Tanete
Riattang Timur, Kabupaten Bone. Masyarakat di daerah tersebut
menggunakan eufemisme dalam berbagai stuasi.
Penelitian ini bertujuan menganalisis makna eufemisme dalam bahasa
Bugis. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan bentuk, makna,
dan fungsi penggunaan eufemisme dalam masyarakat Bugis. Hasil penelitian
dapat digunakan untuk menggali lebih dalam karakter masyarakat Bugis
yang tercermin dalam aktivitas berbahasa. Selain itu, hasil penelitian
dapat bermanfaat dalam pengembangan bahan ajar mata pelajaran bahasa
Bugis.
METODE
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain deskriptif
kualitatif, yaitu mendeskripsikan data secara teliti sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya. Data dalam penelitian ini adalah kalimat dalam
bahasa Bugis yang menggunakan eufemisme. Yang dimaksudkan eufemisme
dalam penelitian ini adalah ungkapan dalam bahasa Bugis yang bermakna
lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang kasar, tidak santun, dan
kurang menyenangkan.
Data bersumber dari informan penutur bahasa Bugis yang berdomisili di
Kelurahan Panyula, Kabupaten Bone. Dialek yang digunakan oleh informan
adalah dialek Palakka. Data diperoleh melalui teknik libat cakap, teknik
catat, dan teknik perekaman. Teknik libat cakap dilakukan dengan
menyimak pembicaraan dan terlibat berbicara antara peneliti dengan
informan. Teknik catat digunakan untuk mencatat data yang diperoleh pada
kartu data untuk memudahkan analisis data. Perekaman dilakukan melalui tape recorder untuk memastikan dan memudahkan identifikasi data dan pencatatannya.
Data yang diperoleh dianalisis secara deskripitif kualitatif.
Analisis data diawali dengan identifikasi kalimat-kalimat yang
mengandung eufemisme. Setelah itu, kalimat-kalimat tersebut
dideskripsikan maknanya dan mengklasifikasikannya sesuai dengan
kecenderungan data. Analisis dilanjutkan dengan penyimpulan sementara
dan verifikasi ulang untuk menghasilkan kesimpulan akhir.
Untuk menjamin keabsahan data penelitian, pengecekan keabsahan data dilakukan melalui objektivitas (confirmability) dan kesahihan internal (credibility).
(Iskandar, 2008:228229). Pengecekan keabsahan data dilakukan melalui
(1) ketekunan pengamatan,(2) perpanjangan pengamatan (Alwasilah,
2003:151; Moleong, 1990:175183; dan Iskandar, 2008:229232).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bentuk Ungkapan Eufemisme dalam Bahasa Bugis
Ungkapan-ungkapan yang bermakna eufemisme yang ditemukan dalam bahasa Bugis Dialek Palakka, yakni mabbura,
juana, makecca-kecca jari, massimang, reweq ripammasena, masempo,
matubeng, wija, mallalengni, makkurai betta, attaung-taugeng,
makelu-kelu, massappa dalle, macca pinru ada, mallise, rilakke-lakkei,
jambang, dan palecce. Makna setiap ungkapan tersebut diungkapkan sebagai berikut.
Mabbura (makan) merupakan bentuk eufemisme dari manre. Mabbura berarti mengobati rasa lapar. Ungkapan mabbura digunakan untuk memanggil orang lain makan. Ungkapan ini memiliki makna yang sifatnya tidak langsung.
Juana (budak) merupakan bentuk eufemisme dari atanna. Kata atanna digunakan untuk menghargai mitra tutur atau orang lain yang dibicarakan. Atanna berarti budaknya, yang secara sosial menempatkan yang bersangkutan dalam status sosial yang paling rendah.
Makecca-kecca jari (pencuri) adalah merupakan eufemisme panga, parennau. Makecca-kecca jari bermakna bertangan nakal. Ungkapan tersebut lebih halus dibandingkan dengan pencuri. Ungkapan makecca jari juga digunakan masyarakat karena mereka meyakini bahwa jika pencuri disebut parennau mereka akan melakukan aksinya kembali.
Massimang (pamit) merupakan eufemisme dari kata lokkana. Kata massimang dipandang
masyarakat lebih halus maknanya jika ingin meminta izin pulang kepada
tuan rumah. Kata tersebut biasanya digunakan untuk pamit pada tuan rumah
yang berstatus bangsawan. Dengan menggunakan kata tersebut, tuan rumah
merasa sangat dihargai oleh tamu.
Reweq ripammasena (meninggal dunia) merupakan eufemisme dari mate. Reweq ripammasena diucapkan untuk menjaga perasaan keluarga dari orang yang meninggal dunia. Secara harfiah, ungkapan reweq ripammasena puang allah taala berarti kembali ke sisi Allah Swt. Makna kembali dalam ungkapan tersebut bertujuan
untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan. Dengan mengatakan kembali
ke sisi Allah, makna yang terkandung makna kematian tersebut semata-mata
kehendak Allah Swt.
Masempo (tidak ada) merupakan eufemisme dari degaga. Kata masempo digunakan
ketika seseorang meminta sesuatu barang atau ingin membeli sesuatu,
namun yang dimintai/penjual tidak memiliki barang dimaksud. Masempo secara
harfiah berarti laris. Dengan menggunakan ungkapan tersebut, orang yang
meminta/pembeli tidak merasa kecewa karena keinginannya tak terpenuhi.
Matubeng (malas) merupakan eufemisme dari makuttu. Eufemisme ini digunakan untuk menjaga perasaan orang yang dianggap malas. Matubeng memiliki makna yang lebih halus dibanding dengan makuttu.
Wija (anak) merupakan eufemisme dari anatta. Dengan menggunakan kata wija, orang tua biasanya merasa dihargai. Wija memiliki
makna keturunan. Kata-kata tersebut merupakan ungkapan yang biasanya
diucapkan sebagai tanda keakraban. Masyarakat Bugis ketika berjumpa
dengan sahabat atau kawan biasanya akan saling bertanya tentang jumlah
keturunan dengan menggunakan kata wija. Bentuk ungkapan yang lazim digunakan adalah siagani wija (sudah berapa keturunan)? Kata wija memiliki makna yang halus sebagai bentuk penghargaan kepada orang tua yang telah memiliki keturunan.
Mallalengni (sekarat) merupakan eufemisme dari madangni. Eufemisme ini digunakan untuk menjaga perasaan keluarga orang yang sedang sekarat. Secara harfiah, mallalengni berarti berjalan, berjalan menuju kematian. Penggunaan kata mallaleng memiliki ketidaklangsungan makna.
Makkunrai betta (pelacur) merupakan eufemisme dari kata bendarang. Kedua kata memiliki makna yang sama, namun makkunrai betta memiliki ketidaklangsungan makna. Arti secara harfiah makkunrai betta adalah wanita nakal. Dalam masyarakat adalah perilaku yang diwujudkan dalam beragam tindakan, termasuk wanita yang menjadi pelacur. Bendarang memiliki makna yang spesifik kepada pelacur.
Attaung-taugeng (orang meninggal) merupakan eufemisme dari tau mate. Menurut pandangan masyarakat Bugis, attaung-taugeng digunakan sebagai ungkapan untuk mengurangi kesedihan keluarga yang sedang berduka. Secara harfiah, kata attaung-taungeng berarti tempat orang meninggal.
Mallise (hamil) merupakan eufemisme dari mattampu. Kata mallisek memiliki makna yang lebih halus. Ungkapan tersebut digunakan untuk menjaga perasaan wanita yang sedang hamil. Mallise secara harfiah berarti berisi.
Makelu-kelu (sakit) merupakan eufemisme dari malasa. Meskipun kedua kata memiliki makna yang sama, namun makelu-kelu memiliki makna keadaan sakit yang tidak terlalu parah. Sebaliknya, malasa mengesankan makna keadaan sakit yang parah. Makelu-kelu merupakan
bentuk ungkapan yang digunakan untuk membesarkan hati dan memberikan
semangat bagi orang yang sedang sakit. Dengan menggunakan ungkapan
tersebut, kesan yang muncul bahwa penyakit yang diderita si sakit tidaklah parah.
Massappa dalle (menjual) merupakan eufemisme dari mabbalu. Massappa dalle digunakan untuk memberikan semangat dalam melakukan pekerjaan sebagai pedagang. Secara harfiah massappa dalle berarti
mencari rezeki. Dengan menggunakan ungkapan tersebut, yang bersangkutan
akan memiliki motivasi untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Ungkapan
tersebut juga lazim digunakan untuk memotivasi anggota keluarga,
utamanya anak untuk bekerja atau menuntut ilmu.
Macca pinru ada (piawai bercerita, piawai merangkai cerita) merupakan eufemisme dari macca mabbicara. Eufemisme
ini digunakan untuk menunjukkan kehebatan seseorang yang piawai
merangkai cerita. Ungkapan tersebut memiliki makna yang lebih halus
dibanding macca mabbicara. Macca mabbicara mengesankan seolah-olah yang bersangkutan hanya sekadar bersilat lidah. Begitu pula, isi pembicaraan yang sekadar sebagai gurauan, bukan pembicaraan berisi seperti yang terkandung dalam macca pinru ada.
Rilakke-lakkei (dibicarakan) merupakan eufemisme dari ribicarai. Ungkapan rilakke-lakkei digunakan
untuk pembicaraan yang berkaitan dengan pernikahan. Ungkapan tersebut
digunakan untuk menyembunyikan harapan yang sebenarnya, yakni harat
meminang seorang gadis.
Jambang (buang air besar) merupakan eufemisme dari tai. Penggunaan kata tai akan menimbulkan rasa jijik pada orang yang terlibat pembicaraan. Tai secara harfiah berarti berak. Tai secara
langsung memberikan asosiasi terhadap kotoran yang dihasilkan manusia.
Dengan menggunakan ungkapan jambang, asosiasi pendengar tidak langsung
terarah pada hal yang kotor.
Palecceki (tambah) merupakan eufemisme dari attambako. Kata ini digunakan ketika mempersilakan tamu menambah makanan dalam jamuan makan. Secara harfiah, palecceki berarti memindahkan makanan. Penggunaan kata attambako dihindari dalam jamuan makan masyarakat Bugis karena hal tersebut dapat menimbulkan rasa malu bagi tamu. Attambako mengisyaratkan kesan rakus, makan banyak. Padahal, dalam masyarakat Bugis kesan tersebut merupakan aib yang harus dihindari.
Fungsi Eufemisme dalam Bahasa Bugis
Eufemisme umumnya digunakan memperhalus pembicaraan kepada seseorang
yang menjadi mitra tutur untuk menjaga perasaannya, menghindari
ketersinggungan, dan memberi penghargaan. Dengan menggunakan eufemisme,
tuturan yang diucapkan bernilai sopan, memberi penghargaan, memberi
penghormatan, dan menghindari sikap kurang ajar.
Dalam masyarakat Bugis, eufemisme digunakan untuk: 1) menghormati
orang lain dan 2) menjaga perasaan orang lain. Eufemisme yang berfungsi
untuk menghormati orang lain, yakni: mabbura (makan), wija (keturunan), massappa dalle (mencari rezeki/berjualan), macca pinru ada (pandai merangkai kata), jambang (buang air besar), palecceki (pindahkan/tambah), dan rilakke-lakkei (dibicarakan).
Eufemisme yang digunakan untuk menjaga perasaan orang lain, yakni: juana (budak), makecca-kecca jari (pencuri), massimang (pamit), matubeng (malas), mallaleng (sekarat), makkunrai betta (pelacur), mallise (hamil), attaung-taungeng (tempat orang meninggal), dan makelu-kelu (sakit).
Berdasarkan bidang pemakaian, eufemisme dalam bahasa Bugis digunakan
dalam hal yang berkaitan dengan musibah, utamanya kematian. Selain itu,
eufemisme juga digunakan untuk merujuk pada perilaku menyimpang anggota
masyarakat, hal menjijikkan, dan menunjukkan perilaku kesopanan Penggunaan eufemisme dalam bahasa Bugis menunjukkan keluhuran budi
masyarakat Bugis. Penutur bahasa Bugis menggunakan eufemisme sebagai
bentuk penghormatan terhadap mitra tutur atau objek pembicaraan.
Pembicaraan dengan penutur yang memiliki derajat kebangsawanan atau usia
yang lebih tua mendorong pembicara untuk menggunakan bahasa yang
memiliki makna yang lebih halus. Menurut Pelras (2006:196), dalam
masyarakat Bugis ungkapan penghormatan ditentukan derajat kebangsawanan
dan usia. Eufemisme yang dipengaruhi derajat kebangsawanan terlihat pada
ungkapan massimang (pamit). Pada golongan masyarakat yang memiliki status rakyat biasa, lazim digunakan lokka/jokka (pergi) lesu (pulang).
1 komentar:
Ana laa afham maa taktub....
Posting Komentar